gitacahyaningtyas28@gmail.com

"Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving." -Albert Einsten-

Rabu, 02 Maret 2016

Goresan Rindu



Goresan Rindu
Karya: Gita Cahyaningtyas


Mulanya,
Gadis mungil itu dengan binar bak bintang di malam purnama
Bulat penuh, hitam berkilau dan mempesona
Dengan langkah kecil malu-malu
Ia mulai menapaki tanah rantau
Lambaian tangan serta senyum penuh harap
Yang kala itu terukir simetris dalam pahatan Sang Maha Pencipta
Kini terombang-ambing di lautan asa
Kilaunya mulai memudar
            Ia takut
            Pulang, pulang, pulaaang …”
            Racaunya tiap malam
            Tetes rindu menjalar hingga ke ubun-ubun
            Nanar lalu terisak
Coba hadap Rabb-mu
Desau angin menerpa
Lalu bersimpuh lah ia dalam do’a
Tengadahkan tangan menuju kiblat-Nya
Tak lama matanya memproyeksikan cerita:
                        Di suatu kota kecil
                        Saat senja mulai meredupkan sinarnya
                        Tampak sepasang gadis mungil mengaku tegar namun rapuh
Direngkuh teramat lembut oleh seorang lelaki tampan paruh baya
                        Mereka berdendang cerita
                        Hingga tak lama,
                        Kerut kening sang lelaki tercetak di wajah
                        Tampak letih tapi tak putus asa
                        Ia dongengkan cerita klasiknya
                        …”Aku dulu hampir berhasil Nak, hampir!
                        Mungkin dewi fortuna ku sedang berlayar saat itu”…
                        Lalu ia terkekeh, dengan mata menerawang, lanjutnya
                        …”Setiap manusia pasti akan tua dan mati
                        Tapi sebelum masa tuaku tiba dan ajalku menghampiri,
                        Izinkan aku untuk melihatmu menggenggam semua mimpi yang ada di kepala
kecilmu itu, putriku
Aku ingin melihatmu hidup dengan semua realitamu
Aku ingin kau tampak di mata mereka
Aku tak ingin anak-anakku terutama kau terlihat bukan apa-apa, sama sepertiku
Jadi, izinkan aku wahai putriku
Walau harus ku peras keringatku
Walau harus ku tahan lelahku
Walau harus ku pacu tubuhku
Tak apa sayang, aku rela
Ya, nak?”…
Seketika mata itu redup
Sedu sedan tertahan
Tak kuasa bibir mengucap
Bak sekat merekat kuat di kerongkongan
Hanya bulir demi bulir tetes mewakili pilunya
Tersentak lalu ia usap kasar pipi gembilnya
Ia sudahi do’anya
Aamiin”
dan berdiri tegap
Tekadnya kuat
Pantulan wajah bulatnya meneriakan pengorbanan
Ini demi mereka, terutama lelaki paruh baya kesayangannya
Kelak akan ia cetak kertas putih dengan namanya
Bersanding toga dan title kebanggaan
Dalam hatinya,
“Sehat selalu wahai kalian kesayangan,
akan aku bayar tiap tetes keringatmu
Aku disini
Tunggu aku di peraduan
Segera.”


                                                                                                           Teruntuk kedua orang-tuaku
                                                                                                           Terkhusus Bapak tercinta
                                                                                                           Palembang, 18 Januari 2016
                                                                                                                   21:13 WIB

0 komentar :

Posting Komentar

Popular Posts

Followers

Subscribe Via Email

Subscribe to our newsletter to get the latest updates to your inbox. ;-)

Your email address is safe with us!

Dikti

LIPI

Universitas Sriwijaya

HIMMA UNSRI